Kamis, 15 September 2011

Menulis Memoar tak Lepas dari Menulis Fiksi

JUM’AT CENDOL “Menulis Memoar tak Lepas dari Menulis Fiksi”

 Oleh : Astuti J. Syahban

Assalamu’alaikum…Hai Cendolers yang berada di seluruh belahan dunia dari Hongkong, Singapura, Melbourne, hingga di sebuah dusun terpencil di Papua. Pernahkah kalian berpikir bahwa kejadian yang terjadi pada saat ini akan menjadi sebuah catatan di masa mendatang? Kalian suka mencatat kejadian yang berlangsung sehari-hari? Kalau tidak sempat dicatat di dalam Diary, kejadian di masa lalu dan sekarang akan menempel pada ingatan kita. Ada beberapa yang harus kita buang, terutama pengalaman pahit. Selain itu kenangan akan kebahagiaan tak ubahnya akan mengikuti gerak kita sebagai salah satu hal yang bisa memotivasi hidup agar kita bisa terus menikmatinya.
Pada kesempatan kali ini saya akan memberikan sedikit pengetahuan tentang “Menulis Memoar tak Lepas dari Menulis Fiksi !”
Arti kata Memoar di dalam KBBI edisi ketiga, Balai Pustaka, Depdiknas adalah Kenang-kenangan sejarah atau catatan peristiwa masa lampau menyerupai autobiografi yang ditulis dengan menekankan pendapat, kesan dan tanggapan pencerita atas pengalaman yang dialami dan tentang tokoh yang berhubungan dengannya.
Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan ketika menulis Memoar adalah…
  1. Menulis Memoar bukanlah menulis biografi atau otobiografi. Yang kita tulis hanyalah sepenggal, boleh sebagian besar kisah hidup yang sangat menarik.
  2. Mantapkanlah niat dan tekad hati untuk mentransformasikan segala situasi dan keadaan yang bisa membikin pembaca untuk betah berlama-lama dengan tulisan kita dan tak akan melepaskan sampai halaman terakhir buku yang dibacanya.
  3. Penulis boleh membesar-besarkan peristiwa atau lakon dalam kehidupan seseorang tentang sebuah peristiwa memalukan atau menyedihkan, akan tetapi bersifat jujur namun berkreatif dalam merangkai kata akan lebih baik. Apalagi bila ditambah dengan pemuatan atau kutipan karya sastra misalnya berupa puisi, pembaca akan dibawa ke sebuah suasana transedental yang luar biasa. Inilah yang saya sebut dengan fiksi yang melekat di dalam sebuah karya Memoar. Ingatlah beberapa puisi yang ditulis oleh Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi, salah satunya adalah puisi tentang bidadari.Beberapa puisi Asa Putri Utami bahkan di-scan di dalam memoir Asa, Malaikat Mungilku.
  4. Menulis Memoar  harus datang dari hati dan jiwa.  Selain itu juga dapat menjadi hal baik yang menyenangkan dan pengalaman penyembuhan, terutama bagi mereka yang mungkin memiliki tragedi atau trauma di masa lalu. Lebih dari itu, menulis memoar harus membawa misi perbaikan,  menceritakan untuk pelajaran, menginspirasi dan memotivasi orang untuk berbuat lebih baik. (dikutip dari sebuah sumber).
  5. Mulailah membuat catatan-catatan, siapa tahu suatu saat kita akan dituntut atau dipaksa menulis sebuah Memoar. (Pengalaman saya yang sungguh sangat berharga adalah ketika mendapati anak kedua saya menderita sakit SLE(Lupus), yang ketika di akhir hidupnya dia wasiatkan kepada saya untuk menuliskan buku tentangnya. Dan saya sangat terbantukan oleh catatan-catatan harian, baik yang saya tulis tangan di buku serta saya simpan di Hp ataupun yang mengendap dalam memori otak saya yang Tuhan berikan, Subhanallaah, saya mempunyai ingatan-ingatan yang tajam, akan masa lampau).
  6. Hal yang tak terduga adalah oleh sebab kekayaan pengalaman hidup yang kita punya dan apalagi ketika kita mahir saat memainkan kata-katanya, orang akan menyangka bahwa memaoar yang kita tulis adalah fiksi belaka! Boleh-boleh saja orang berpendapat begitu akan tetapi kembali kepada sifat kejujuranlah yang mendasari dalam penulisan sebuah memoar sehingga dapat dipertanggung-
jawabkan secara moral.        

Nukilan Memoar 'ASA, MALAIKAT MUNGILKU'


Bab 26

Al-Fatihah Untuk Nenek Misterius


Asa kedinginan. Di balik selimut tebalnya yang rangkap dua, dia menggigil. Termometer di badannya menunjukkan angka empat puluh derajat celsius. Ini di luar batas normal.
Suasana ruang Hd di rumah sakit ini lumayan sibuk. Ada empat orang perawat yang melayani tujuh pasien gagal ginjal. Kalau pagi, tempat tidur di sini penuh dan perawatnya biasanya lebih banyak.
Ada seorang pasien, perempuan tua yamng sudah sekitar sepuluh menit berteriak-teriak tiada henti. Pasien itu mengaduh tanda kesakitan. aku melihat ke arahnya. Dia tak ditunggui oleh keluarganya. Dia baru saja selesai menjalani cuci darah. salah seorang perawat mendekatinya. Dibetulkannya letak nasal, selang oksigen yang menempel pada hidung sang nenek. Asa turut memerhatikan. Dia tak perlu menengok atau menoleh, sebab arah pandangannya tepat pada tempat tidur sang nenek.
"Mama, nenek itu saat ini sedang sakratul maut."
"Yang benar saja, Asa. Kamu jangan ngomong yang tidak-tidak."
"Benar! Lihat saja! dia tampak kesakitan. kasihan sekali."
"Iya, kasihan sekali dia."
"Mama, aku ingin menghadiahi nenek itu Al-Fatihah."
"Boleh. Tetapi Mama tutup dulu muka Asa biar tidak kedinginan. Kepalamu juga ditutup ya?"
Aku menutup muka dan kepala Asa. Dari keseluruhan bagian tubuhnya, hanya masker oksigen saja yang masih terlihat.
Kemudian lima menit berlalu.
Perawat yang menunggui sang nenek tampak menutup kain gorden, hingga pandangan tak tampak lagi. Saat kain itu ditarik sehingga menimbulkan bunyi generincing, seperti suara lempengan logam beradu, Asa tahu bahwa sang nenek telah pergi.
"Mama, nenek itu sudah meninggal?"
"Tampaknya begitu."
"Boleh kubuka penutup mataku?"
"Boleh. Bukalah!"
"Kubuka sekarang."
"Tadi Asa takut?"
"Enggak."
"Kenapa enggak takut?"
"Semua orang akan mati nantinya."
"Ya. Benar."
Waktu Hd tinggal satu jam lagi, suhu badan Asa masih berkisar di angka 38 derajat celcius. kadang naik 39 derajat. Belum turun lagi. seorang perawat saling berbeda pendapat dengan dokter residen berkenaan dengan kondisi Asa. Harusnya bila akan masuk transfusi pada proses hemodialisis ini, suhu yang ideal adalah 37 derajat celcius. Jadi, kalau masih di angka 38, sangatlah berisiko. Masih sejam lagi dan baru saja Asa meminum paracetamol. Masih ada harapan...............






BIODATA 
Astuti J.Syahban. Lahir di Solo, 12 Agustus 1971. Ibu dari dua orang putri dan seorang putra ini terpaksa menjadi seorang penulis yang akhirnya ditekuni secara professional setelah keadaan yang mengharuskannya menulis sebuah memoar yang berkisah tentang perjuangan putri keduanya yang berpenyakit Lupus.
Selama 3 tahun, dua judul novel telah ditulisnya. Salah satunya Novel Memoar yang berjudul ASA, MALAIKAT MUNGILKU (Hikmah, Mizan 2009)
Dia mengaku  kembali menekuni dunia tulis-menulis selama tiga tahun ini, setelah 18 tahun hanya menikmati buku sebagai bacaan yang menarik dan tak menulis apapun kecuali buku harian. Semasa SMA di tahun 90-an, berbagai penghargaan menulis sering diterimanya, baik tingkat kota maupun propinsi dan dia penulis cerpen produktif di koran lokal saat itu.
Selain itu, 9 judul novelet anak telah diterbitkan oleh sebuah penerbit buku pelajaran sekolah.
Karunia terbesar di bidang menulis terjadi kepada keluarga penulis ini tatkala di penghujung tahun 2008, sang suami yang juga penulis prolifik serta mantan wartawan ini mendapat juara1 lomba karya tulis oleh Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Sebulan kemudian putri sulungnya menggondol juara 1 karya tulis tingkat SMA oleh Universitas Paramadina. Dan yang membuat berdecak adalah tatkala 6 bulan kemudian, tepatnya di bulan Juli 2009, dia berdua dengan suami sama-sama diundang oleh Kemendiknas, menghadiri seremonial HAN(Hari Anak Nasional) di Ancol dalam rangka menjuarai Lomba Jurnalistik PAUD. Astuti menggondol juara Harapan 1 sedang sang suami juara 1.
                       ******************

0 komentar:

Posting Komentar