Memberi Nyawa Pada Tulisan
Pemateri :
Jum'at, 19 Agustus 2011
Membaca kisah-kisah di buku ini membuat saya seakan-akan menjadi anggota kesebelas dari Laskar Pelangi. Duduk di dahan terendah, disebelah Sahara (satu-satunya anak perempuan) memandangi pelangi dari balik daun-daun pohon filicium yang basah, dalam hening suasana sore sehabis hujan.
Itulah yang saya tulis dalam resensi buku Laskar Pelangi. Menurut saya (lho ya...) Andrea Hirata sangat berhasil meniupkan nyawa pada tulisannya. Kenapa? Karena dia mengalami apa yang dia tulis itu. Cara lain membangkitkan arwah pada tulisan, yaitu ketika perasaan memang sedang ‘sesuai’. Gini deh, waktu teman-teman sedang merasa sedih, teman-teman menulis cerpen dengan tema kesedihan. Nah, pas hati lagi gembira coba teman-teman menulis cerpen dengan tema yang sama. Kira-kira mana yang terasa lebih hidup? Selain dua elemen di atas, inilah dia quote favorit di setiap pelatihan kepenulisan, menulislah dengan hati. Menulis tidak bisa hanya dilakukan dengan pikiran saja, karena hati adalah sumber kejernihan dan kemurnian, hati juga yang sanggup menggerakkan ide-ide anda bangkit dan muncul ke permukaan (Alfisyahrin.blogspot.com- ini Alfi cabang Depok bukan cabang Surabaya, heee... OOT). Terakhir, cobalah untuk menulis tanpa jeda ketika ide-ide sedang deras mengalir. Sebaiknya tidak menulis sekaligus mengedit. Menulis dan mengedit itu sebenarnya musuhan (ssstt... jangan bilang-bilang). Saat kita menulis, otak kanan yang bekerja sedangkan ketika mengedit, otak kirilah yang bekerja. Jika mereka bersanding, sudah pasti hasilnya berantem, walhasil tulisan kita jadi tidak maksimal. Saya pribadi belum berani berhadapan dengan komputer jika konsep tulisan yang akan saya buat itu belum matang. Saya terbiasa membiarkan tokoh-tokohnya berdialog, dan beradegan di kepala saya. Dengan begitu baru saya tahu alurnya. Terbalik, ya? Masing-masing penulis mempunyai cara khas dalam proses kreatifnya, toh... hehe... Tetapi, jika konsep sudah matang di kepala, buat saya lebih enak menuliskannya, mengalir. Dan dijamin nggak ada ‘writer block’. Kalau saya sudah ikut tertawa ketika menuliskan satu cerita, atau malah menangis (kejadian di novel anak), dan tercekam (Topeng Putih Rara Anom), saya yakin bahwa spirit yang saya tulis akan sampai pada pembaca. Saya beranggapan bahwa setiap tulisan itu membawa spirit dari penulisnya. So, akan sangat baik sekali bagi kita-kita para pemula untuk membaca tulisan mereka baik-baik. Begitulah cara kita menghargai suatu karya.
0 komentar:
Posting Komentar